Selasa, 26 November 2013

Hey, Single! God Gives Us Time :D


Mungkin belakangan ini, kehidupan gue dipenuhi dengan aroma-aroma picisan yang udah lama ga gue hirup karena, I, literally, avoided it, intentionally. Kenapa? Karena gue merasa sedikit banyak itu bakal ngeganggu ketenangan hidup gue yang udah gue balikin dari kegelisahan-kegelisahan malam gue, dalam waktu yang lama. And yes, it’s proved.

Kemarin gue baca blog-nya Dedy something. Sori lupa karena gue ga kenal. Gue liat dia share dan masuk ke gmail gue. And worth it to read because, mungkin gue alamin saat ini.

Soal jodo katanya. Kata-kata positif yang bias gue ambil adalah, sebagai jomblo, Tuhan memberikan waktu buat kita buat ngedesign jodoh kita buat diri kita, via diri kita. Nice words, I think. Katanya jodoh kita adalah cerminan dari diri kita. Gue sering denger orang tua gue bilang, kalau kita gaul di masjid, jodo kita orang yang suka diem di masjid. Kalo kita gaweannya dugem, ketemu jodohnya yang suka dugem juga. The point is, kalau kita baik, jodo kita baik. And vice versa.

Nah, saat jomblo, kita diberi waktu buat memperbaiki diri kita, biar kita dapet jodo yang baik juga. Gue dulu suka agak envy juga sama temen-temen yang pacaran, gandengan tangan, giving and receiving attention, facing everything together, seolah-olah apapun bisa dihadepin kalau berdua. Gue liat beberapa temen gue malah udah ga peduli sama temennya sendiri, yang penting berdua. Tapi yang paling gue seneng dari orang yang pacarannya bener, they complete each other, like a friend. Sekarang, para jomblowan/wati mungkin punya alasan yang tepat buat kejombloan mereka. God gives us time :D

But guys, apa yang gue alamin di dalam suatu hubungan ngebantu gue juga buat menemukan jodo yang baik. Lo punya pelajaran yang bisa lo inget dan lo pegang saat lo nyari the better person for your life.

Relationship makes us growing up. Salah satu yang bikin kita dewasa, menurut gue, adalah how we deal with other people, yang salah satunya adalah pasangan kita. Mungkin ini yang paling nguras otak dan perasaan kita. Ngadepin pasangan kita yang yang suka boong misalnya, cuek, suka ngedrugs, ngambekan, cemburuan, tukang berantem, yang selalu ngomongin mantannya, ato hal-hal yang bikin lo harus naikin tingkat kesabaran lo ke level, paling tinggi. Maybe growing up is about being patience, and wise. Mungkin. Tapi gue ga tau itu ada batasnya, or maybe limitless.

Siapa yang ga mau dapet jodo yang baik. Imannya, usahanya, tampangnya, perilakunya, keluarganya, atau semua kebaikan yang menempel di diri manusianya. Temen gue di kantor selalu bilang, “minta yang paling baik sama Allah. Berdoa setinggi-tingginya. Jangan minta yang biasa-biasanya aja. Jangan minta sedikit. Minta yang banyak.” Lo ga mau ngehabisin hidup lo bersama orang yang ga bisa apa-apa kan? Bersama orang yang ga bisa ngasih lo kebahagiaan hakiki, ngasih lo ketentraman jiwa? Such a waste of time. Hidup lo harus hidup. Cita-cita tertinggi umat manusia adalah kebahagiaan. Orang bahkan rela menderita untuk menjadi bahagia. Stupid words, huh? Not at all.

Gue sekarang lagi ngaca. What kind of person am I? Apa pasangan hidup gue nanti bakal tukang marah dan ngeluh kaya gue? Apa bakal semalesan gue? Lo mau gitu ri? Ya dan Engga. Disatu sisi manusia ga sempurna. Disatu sisi lo pengen yang terbaik buat lo. Jadi gimana? Jadilah orang yang berkualitas supaya lo dapat orang yang berkualitas pula. Orang berkualitas, ukuran yang gue bikin sendiri, mampu memperbaiki diri dan menutupi kelemahan-kelemahan dirinya sendiri, dan diri pasangannya. So do you.


Lagipula, katanya, life is not about love. Janganlah kalian terlalu mengagungkan cinta, gue denger. That’s a piece of a thousand abstract stuff in the world. But indeed it can change your life. Jadi para jomblo di dunia, there so much things in this world yang lebih penting diurusin daripada meratapi kejombloan kalian dengan update-update meme menyedihkan. Jodo ada yang ngatur, they said.



Kamis, 21 November 2013

I owe you a lot for this kind of song



"What If"

What if there was no lie
Nothing wrong, nothing right
What if there was no time
And no reason, or rhyme
What if you should decide
That you don't want me there by your side
That you don't want me there in your life
What if I got it wrong
And no poem or song
Could put right what I got wrong
Or make you feel I belong

What if you should decide
That you don't want me there by your side
That you don't want me there in your life

Ooh ooh-ooh, that's right
Let's take a breath, jump over the side
Ooh ooh-ooh, that's right
How can you know it, if you don't even try
Ooh ooh-ooh, that's right

Every step that you take
Could be your biggest mistake
It could bend or it could break
That's the risk that you take

What if you should decide
That you don't want me there in your life
That you don't want me there by your side

Ooh ooh-ooh, that's right
Let's take a breath, jump over the side
Ooh ooh-ooh, that's right
How can you know when you don't even try
Ooh ooh-ooh, that's right

Oh - Ooh ooh-ooh, that's right,
Let's take a breath, jump over the side.
Ooh ooh-ooh, that's right,
You know that darkness always turns into light.
Ooh-ooh, that's right


Dear Chris Martin,

I owe you a lot for this kind of song.







Selasa, 19 November 2013

Anonymous said

"Beberapa orang memaafkan kesalahan yang sama berulang-ulang, semata hanya karena takut kehilangan.
Beberapa orang memilih bertahan, hanya karena tidak tau caranya pergi atau melepaskan.
Beberapa orang perlu ditinggalkan terlebih dahulu, untuk sekedar menghargai apa yang telah dimiliki." (Anonymous)

Somehow, kata-kata ini terngiang-ngiang dikepala gue seharian ini. Mungkin, ada beberapa poin yang nyentug (sori gue miringin. ini bahasa asing. ga tau bahasa apaan tapidi gue, walopun ga secara langsung gue alamin. Tapi, kalau gue ada diposisi ketiga situasi diatas, yang paling nyentug mungkin kalimat kedua kali ya. That's kind of wanting to escape but you can't do anything.

Citra & Riri - Don't know why


This is one of my favorite song. Norah Jones is awesome. So does my friend. :)

Citra & Riri - Grenade Cover


It's been a long time since we have a duet. this is our second song we start to play again together. Enjoy it. :)

Kamis, 07 November 2013



"Maybe it's good if he goes. Sometimes you can spend too long on one-sided love."


Minggu, 03 November 2013

Stuff being grown up



"Kalau perasaan didebat logika ya ga bakal beres-beres. kalau ga saling ngertiin ya harus ada yang ngalah. that's the sign you wanna to survive, till you can't do anything anymore.

well, stuff being grown up, maybe.

now and then. let anything be."


Jumat, 01 November 2013

PMS selalu bisa menjelaskan semuanya...


Kalau cewe tiba-tiba marah-marah ga karuan, alesan ga jelas, ngomong ngawur, jawabannya cuma satu, PMS. Gue juga ga tau jelas penjelasan ilmiahnya. Kalau ga salah sesuatu yang berhubungan estrogen progesterone yang entah digiminain jadi nebuat cewek emotionally and physically, crazy.

Oke, gue bukan mau presentasi soal PMS. Pasalnya, temen-temen gue suka ngerasa kalau cewe-cewe ngejadiin PMS ini tameng buat marah-marah ga jelas, supaya dia akhir ketika menyesal bisa dimaafkan, because they know it subconsciously happens. Itu cuma alesan, katanya. Gue rada ga terima dengan statemen itu.


Boys don’t have any idea. Gue sadarain ga fair kalau kita marah-marah dan ketika ditanya kenapa kita jawabnya, ‘lagi PMS’. Jawaban yang tidak bertanggung jawab. But hey, try it out and you’ll know it. Ketika puncak emosi ada di ubun-ubun, dan secara fisik lo nyeri ga ketulungan, dan lo ngucapin satu kata yang nyentil rasa kekecewaan lo in any topic exists in the world, there you are

Selasa, 22 Oktober 2013

Picisan...

Belakangan, gue ngerasa idup gue dipenuhi dengan ke-melankolis-an. Gue selalu ngerasa kalau hal apapun yang bikin gue sedih atau gelisah, I can trough that no matter what. Gue ngerasa udah kebal dan ngerasain yang namanya sakit tingkat dewa, jadi gue pede aja bisa ngejalanin hal-hal picisan kaya gini.

I was wrong, you know that. Hal-hal sepele yang nyentil dikit perasaan lo tetep bisa jadi bikin lo gelisah ga karuan, walopun lo udah pernah jatoh berkali-kali. And honestly, this is the part I hate the most.

Ketika lo ada dalam puncak kekalutan, jalan lo cuma dua. Lo maju terus ke dalam kekalutan lo dan jadi pecundang, atau lo muter balik. Lo tutup rapat-rapat dan cari jalan lain.

Jadi, gue mulai berikrar buat ga wasting my precious times, ever again. Ga tau sih gue beneran bisa apa engga. Kalau ga dicoba ya ga bakal tau. Gue mulai lagi ngebenahin mimpi-mimpi gue dulu. Gue mulai tempel lagi gambar-gambarnya, gue mulai banyak berdoa, dan gue mulai nyari jalan lagi.


Gue mendingan ngeluh terus karena cape kerja daripada ngeluh karena hal-hal klise, atau hal-hal picisan. Maybe we need it sometimes, but people have their limit. So this is my limit. I can’t take further than this.

Jumat, 11 Oktober 2013

Hey, Freedom! (2)


\Gue sedikit tergugah dengan tweets @benhan mengenai UU ITE tentang pencemaran nama baik. Walapupun gue dulu pernah ngepost soal sampai mana kebebasan kita berpendapat, bertindak sebagai masyarakat Negara demokrasi, gue ngerasa untuk yang satu ini kita perlu benar-benar bebas, karena tujuannya baik.

Katanya, di Amerika, freedom of speech dilindungi konstitusi. Orang-orang ga bisa dituntut apalagi dipenjaran hanya karena pendapatnya. “Menurut Supreme Court US, freedom of speech akan membuat sebuah bangsa menjadi lebih besar. Karena kritik akan mengarah pada perbaikan diri. Kritik, walaupun memuat penghinaan, bagi mereka akan memperbaiki bangsa secara keseluruhan, dijadikan cambuk untuk terus memperbaiki diri.” (@benhan)

Make sense. Gue setuju-setuju aja kalau mengarah pada perbaikan diri, mengarah pada tujuan yang baik. Masalah kesinggung dengan hinaan atau kritikan itu masalah personal. Masalahnya, mungkin, para pejabat di Negara kita adalah mungkin orang-orang yang sensitif. Udah tau gitu mereka main internetan, dimana yah, seperti dunia tanpa batas. Gue dulu pernah denger “kalau ga mau sakit hati, jangan berurusan dengan percintaan” because nothing last forever, because it wouldn’t last and so on and so on. Mungkin sama halnya dnegan ini. Kalau ga siap dengan kritikan pedas, hinaan, atau apapun itu mereka sebut, yang jangan mainan yang beginian. Atau mungkin tepatnya, kalau ga siap dikritik ya jangan jadi pejabat atau menteri atau perwakilan rakyat apapun, yang notabene pasti bakal di judge no matter right or wrong they behave.
Atau, mungkin masalahnya adalah mungkin bangsa kita ga mau memperbaiki diri. Bangsa yang berteriak-teriak mengenai Hak asasi, moralitas dan religiusitas, but act nothing.

Well, memang demokrasi di Negara kita dan di Amerika berbeda. Tapi untuk tujuan yang baik kenapa engga? Jangan sampai UU ITE ini menjadi bentuk lain dari pembukaman jaman orde baru. They, the placemen, have more important issues to be solved than wasting time in court shouting about how broken heart they could be because of criticism. Sounds like a looser, I think. No, sounds like a sensitive man. Ah ya, this is Indonesia, the place where people are sensitive.  

By the way, gue jadi ngeri-ngeri gimana juga sik ngomongin beginian. Takut-takutnya ada yang ga enak terus gue dijeblosin ke penjara. Tapi ga apa-apa juga sik. Selagi Harvey Specter sama Mike Ross masih jadi lawyer. Gue dengan senang hati maju ke Meja hijau.

Well, gue bukannya mau mengesampingkan perasaan orang yang di kritik. Mau bagaimanapun, kita, mereka, semua manusia yang punya perasaan. But. Let’s be a better man. Maksud gue, kalau korban perasaan bisa bikin perubahan untuk orang banyak, which is a good thing to do, a good deed God will count, kenapa kita harus egois untuk kebahagiaan individu? Yang kita tau ga ada yang namanya kebahagiaan Individu. Kebahagiaan 100% bersifat relasional, Ura Karma said.


Kamis, 10 Oktober 2013

I don’t know too. Really. And I’m sorry.

Gue dulu suka berpikir, kalau relationship is about how you give your attention, and how you get the attention. Well I’m the one who childish. Mungkin karena most of relationship I have is a long distance one, so it’s really really important for me to know how aware “the man” of my existence. But maybe time makes me grow up.

Atau, mungkin karena kaum adam begitu memesona ketika mencoba mendekat dan mendapatkan, until it get lost because they get bored, or the woman not worth enough to get, not enough to make them happy. I don’t know.

But I do know when a man love or don’t to his girl. I think most women can feel it. And sometimes it’s not okay. Because, if it were me, I have to think harder. Think everything…

I’m pretty sure that women themselves don’t know what they want. I don’t know too. Really. And I’m sorry.

Rabu, 02 Oktober 2013

Hey, Freedom!


Dulu waktu gue masih jadi guide di Museum KAA, gue pernah dapet pertanyaan dari pengunjung yang bikin gue kaya orang bego. Saat itu isu-nya soal relevansi Gerakan Non-Blok di zaman sekarang yang notabene udah ga begitu signifikan karena udah ga ada blok-blokan lagi setelah perang dunia ke II. Mungkin karna saat pelatihan gue ga terlalu serius merhatiin materi-materi yang bakal gue sampein juga. Kebanyakan gue belajar dari wikipedia malah dari pada pas pelatihan.

Jadi saat itu, gue rada stuck juga pas ditanyain sama si bapak-bapak yang laganya kaya orang ga ngerti apa-apa. Gue dengan pedenya negejelasin tentang gerakan non-blok, dan bahwa kita, Negara Indonesia adalah salah satu pencetusnya, ga memihak manapun demi perdamaian dunia. Pertanyaannya: “Kenapa Indonesia menganut sistem demokrasi, yang berkaitan erat dengan Amerika, seperti Amerika, kalau Indonesia tidak memihak satu blok pun? Apakah dengan begitu secara tidak langsung Indonesia mengakui Amerika lebih baik?”

Masalahnya, pengetahuan politik dan sejarah gue jeblok banget diluar apa yang gue pelajari di textbook. Gue diem dulu sebentar dan mikir, and I have nothing to think. Gue bilang demokrasi yang kita berbeda. And he said, “how?” gue senyum aje. Jawab muter-muter. Si bapaknya senyum aje juga.

Sebenernya mungkin jawabannya simpel, kalau gue bisa mikir cepet waktu itu. Dulu gue pikir Demokrasi itu emang Amerika yang bikin dan nerapin dan meng-influence ke Negara-negara lain. Gue mikir begitu karena waktu itu yang diulang-ulang adalah Amerika dengan demokrasi-liberalisnya dan Uni Soviet dengan Komunis-sosialisnya. Selebihnya pengikut-pengikutnya aja, termasuk Indonesia. Makanya pas si bapaknya nanya, eh iya juga ya? Kenapa ya? Gue jadi beneran keliatan bego.

Padahal, gue belajar pas SMP kalo ga salah, apa SD gitu. Demokrasi itu berasal dari kata Yunani Demos dan Kratos yang mengindikasikan kalau demokrasi itu lahir dan berkembang di Yunani, bukan Amerika, jadi Amerika ngikutin aja. It means that, Indonesia juga bukan ngikutin Amerika dan nganggep kalau paham Amerika bener apa engga. Dan walapun kita sama-sama Demokrasi, ada banyak perbedaannya, yang kalau gue terusin disini bakal jadi pelajaran sejarah nantinya. Ya simpelnya sih gitu. Mungkin. (untuk lebih jelas silahkan buku sejarah apapun tentang demokrasi, atau Tanya mbah Gugel)

Dan hari ini gue liat salah satu akun twitter yang gue follow, yang dimana si pemilik akunnya pergi ke meja hijau karena pencemaran nama baik, di twitter. Persis sama kasus temen gue juga yang di arak ke rektorat buat minta maaf karena cicitannya. Anyway, dalam hal ini gue kayanya netral.  Ga ngebenerin, ga nyalahin juga.

Trus gue baca salah satu twit followersnya:

@yyyy Tepat, itu anti demokrasi & kebebasan RT "@xxxx mengapa pasal pencemaran nama baik UU ITE perlu dicabut:


Yang ada dipikiran gue, demokrasi & kebebasan itu Amerika banget. Dan hal ini yang bikin gue balik lagi kepertanyaan bapak-bapak di Museum KAA itu. Apa kita secara ga langsung ngebenerin Amerika dari awal? Demokrasi liberal? Apa dalam demokrasi pancasila ada liberalisme seperti yang di maksudkan si @yyyyy ? gue ga tau juga batas kebebasan dari kata “kebebasan” itu, karena sebebas apapun kalau menyangkut suatu Negara pasti ada rule nya kan? Ah ya, gue mulai ga ngerti arah pembicaraan gue. Maksudnya, apakah kita sudah menjadi Negara yang bebas? Negara demokrasi yang bebas? Kaya Amerika?

Orang-orang di Negara kita banyak banget nuntut kebebasan ini itu. Kok kaya bayang-bayang aja idealisme pancasila kita. Apa udah ganti gitu ya sekarang? Gue ga tau juga. Yang jelas, gue ngerasa lebih nyaman dengan Indonesia yang ga sebebas sekarang, dalam hal-hal tertentu.


Dan oh ya, buat kasus pencemaran nama baik di twitter itu, it’s a personal stuff, really. Beresin personally aja lah. Ga usah pundungan gitu trus bawa pengacara. Cemen.

Selasa, 30 Juli 2013

That will really be my last time me watching that kind of stuff.

Yang ini gue harus cerita banget. Karna ini bakal jadi pengalaman sekali seumur hidup gue.
Seminggu yang lalu gue nonton Match-nya Indonesia versus Club favorit gue Arsenal. Gue pengen Tau apa pemain-pemain dari westeros itu adalah nyata atau tidak. And for The record, They are real apparently. Kenapa baru gue tulis seminggu setelahnya, Well, pertama, karena waktu, kedua, gue ga tau gimana cara ngerangkum semua unek-unek di kepala gue. Banyak banget ditel yang pengen gue ceritain. Tapi gue yakin satu tulisan di blog kaya ini ga bakal cukup.


Nonton pertandingan beginian di Gelora Bung Karno merupakan pengalaman pertama gue. Seumur hidup, gue pernah sekali ke stadion buat nonton bola, tapi gue dapet VIP dan itu beda dengan ini. Jauh berbeda.. So I decided that this experience will be my first and my last.

Well, kata pertama yang bisa gue gambaran adalah sesak. Oh, Man! you have no idea How crowded  it was.  I could’nt breathe. Gue ngerasa adalah merupakan suatu kesalahan bahwa gue datang ke situ. Rasa cinta gue sama Arsene Wenger ga bakal bikin gue bisa dempet-dempetan hampir pingsan kaya gitu. Gue ngerasa harus pulang saat itu. Tapi bahkan berpikir gitu aja gue ga bisa. Gue ga punya cukup oksigen buat berpikir. Apalagi bergerak. Gue geliat muka-muka cewe depan gue yang udah mau hampir nangis dan pingsan kaya orang-orang mantri Sembako (btw, ini mungkin nilai sosialnya. Gue jadi Tau gimana rasanya mantri Sembako. or maybe ngantri sembake is worse.). Miris deh. Gue nguat-nguatin diri yang baru makan 3 biji koma setelah buka puasa.

Singkat cerita, setelah gue denger caci maki para suporter karena susah masuk stadion, gue dan temen gue berhasil masuk. Dan menurut gue, apa yang gue dapet di dalem ga begitu Worth it dengan acara ngantri Sembako gue di luar. Pertama, karena keboloran gue yang parah, gue ga bisa liat jelas muka para pemain. Gue ga bakal tau itu Podolski kalau temen gue ga teriak, atau supertor lain nyanyi “Lu,Lu,Lu, Lucas Podolski!” tiap dia ngedeket. Kedua, tujuan utama gue liat Wenger dari deket ga kesampean karena dia duduk diseberang tempat duduk gue yang begitu jauhnya. Ketiga, tiap gue serius merhatiin pertandingan dan minta suporter depan buat duduk dan ga nyanyi-nyanyik sambil berdiri, gue di sindir “Kalau mau nonton aja di rumah aja sama Nenek!” What The... gue sama sekali ga bisa konsen ke pertandingan. Setiap ada yang berpeluang maskuin, orang-orang langsung heboh berdiri dan bahkan dari 7 gol dari Arsenal gue Cuma bisa liat 3 gol dengan jelas. Gue lebih banyak keselnya. Dan akhirnya gue tetep aja liat di  screen di atas. Padahal pertandingan di depan mata.

Bener emang. Mending nonton di rumah aja sama nenek. Gue ngebayangin kalau gue nonton di rumah, gue bakal bisa liat jelas wajah mereka, bakal dengan tenang minum kopi gue dan ngemil keripik kentang. Plus sambil di elus-elus nenek gue. It Will be a lot of fun and comforting. Di stadion, kaki gue udah sakit pengen duduk di kursi yang malah didudukin senderannya. Dan lapar. Dan ga keliatan.

Ahh, can’t talk about it more.

That will really be my last time me watching that kind of stuff.

Senin, 29 Juli 2013

Gue berdoa agar semua orang di Indonesia bahagia dengan ketidaknyamanannya

Gue ga pernah literary ngedoain kedamaian dan kemakmuran Negara gue, Indonesia, dalam sembahyang gue. But I did it last night. Gue miris soalnya. Negara kita adalah Negara kaya yang miskin. Gue ga tau kenapa kontradiksi itu kita punyai. Dan gue ga tau apa kontradiksi ini sama hal nya seperti yang India miliki, dimana padatnya orang dan panasnya cuaca membentuk suatu kenyamanan tertentu dengan ke-religius-annya, sampai banyak orang-orang yang bersedia menanggung semua ketidaknyamanannya demi kenyamanan itu. Gue ga tau, karena gue belum pernah ke india, dan gue ga bakal tau karena gue ga pernah menjadi orang asing di Negara gue sendiri. But I personally think that I’m not comfortable with this contradiction we have. Gue ga tau dimana lagi orang-orang harus mengantri berjam-jam buat dapet air putih dan 2 macam makanan kecil. Gue bahkan liat yang nipu, ngebohong, bawa-bawa anaknya pula, nangis buat dapet air putih dan makanan murah itu. Dari situ gue sadar gue ga kenal sama Negara gue sendiri. Entah karena gue mungkin hidup dalam kehedonisan yang ga gue sadari, atau mungkin gue, yang kata orang-orang, do not care much around. Dan gue kaya dibukakan mata ngeliat ini. Semiskin apa Indonesia sampai ada orang-orang yang harus dorong anak-anaknya, yang harus nipu demi segelas air putih 500an?


Honestly, mungkin gaya hidup gue yang ga bener. Dan seharusnya gue menyadari, tiap gue mau ngeluarin duit untuk hal apapun yang diluar kebutuhan primer gue, kalau diluar sana masih banyak banget yang hidupnya ga kebayang. Masalahnya, kesadaran ini hampir sering gue sadari setiap kali gue ngeliat anak jalanan, pengemis, pemulung, tapi gue ga pernah ngejalanin kesadaran ini. Apa kesadaran membuat kita merasa benar dan masih punya hati? Apa hukumnya jika kita hanya sadar, without doing nothing? Ketika banyak celah dan jalan yang bisa kita ambil buat menjalani kesadaran kita, kita selalu berujung pada keegoisan kita sebagaimana manusia, yang kebutuhan dan keinginannya' tidak terbatas.

Oke, mungkin gue terlalu mengeneralisasi. Harusnya gue pake kata “gue”, bukannya “kita”. Karena mungkin gue aja yang ngerasa kaya gini. Yang ngerasa hanya cukup dengan bersimpati aja. Pas mau ngasih apapun, pertimbangannya jauh kemana-mana sampai hal-hal yang ga penting aja dijadikan landasan untuk dijadikan pertimbangan, which means, ga mau ngasih karena ngerasa suatu saat pasti dibutuhin, nimbun istilahnya. Mungkin gue termasuk orang yang pelit. Bukan tipe orang yang bro-bro an ngasi ke orang, bahkan untuk amal pun gue perlu perhitungan. Beli apapun gue selalu ngitung. Apapun harus diperhitungkan dan dipertimbangkan. Dan perhitungan seperti itu cocok banget sama kaya cara kerja gue yang harus terplanning dan susah banget buat ngejalanin hal berupa “spontanitas”. Kalau gue ga ngitung, gue selalu berpikir bakal berada di my bad end. Dan gue ga mau. Kalau kerja gue ga ter-planning, ya kerja gue acak-acakan. Dan gue ga suka kalau udah saling nyalahin pas ada yang salah, berhubung tidak semua orang yang umurnya 30 tahun keatas dan orang yang banyak pengalaman itu dewasa dan bisa saling ngertiin. Okay, sorry. Topiknya jadi ngawur kemana-mana.

The point is, belakangan selama gue bergiliran sama rekan kerja gue diskusi dan saling ngasih ceramah di kantor, gue dapet banget makna dari sedekah. Sedekah ini yang banyak ngerubah hidup gue. Gue terharu banget pas banyak banget orang yang nyumbang buat acara amal kantor gue, dan bikin gue ngejalanin kesadaran ini. Bikin gue ngeliat, bikin gue memberi, bikin gue belajar ikhlas, menangis terharu melihat senyuman anak yatim pas dapet tas sekolah, bikin gue merasakan kebahagian hakiki. Bukan kebahagiaan ketika lu dapet mobil ato duit 1 miliyar. Gue ga tau sih rasanya dapet 1 miliyar. Tp ga akan se-mencelos ini gue pikir.


Gue belakangan sering berdoa, literary nyebutin Negara gue Indonesia, supaya menjadi Negara yang lebih baik. Dan sangat retoris kalau Allah bertanya, “baik seperti apa?” Gue yakin Yang Maha Kuasa diatas tau seperti apa itu “baik”, bahkan dalam konteks kecil yang ada dipikiran gue mengenai “baik”, gue yakin Ia tau. Gue berdoa agar semua orang di Indonesia bahagia dengan ketidaknyamanannya, diberi jalan untuk menikmati ketidaknyamanannya, diberi banyak perasaan tenang dalam ketidaknyamanannya.

Sabtu, 13 Juli 2013

Zeitgeist


Gue sedikit ngerti perasaan orang-orang yang Atheis, atau agnostic, atau yang menyandarkan semua kehidupannya pada teknologi atau ilmu pengetahuan seperti Scientology atau perkumpulan sekuno Illuminati dan Freemason. Kalau gue percaya dengan kisah Zetgeist ini, gue berpikir Agama adalah benar-benar sebuah Budaya, dan Mitos. Berapakalipun gue berpikir dari jaman gue kuliah mengenai agama, secara logis gue selalu berujung pada pemikiran ini. Budaya. Dan Mitos. Dan setelah gue nonton Dokumenter Zetgeist ini, rasa penasaran gue bertambah. Walopun setelah memahaminya lebihi dalem  ga ngejadiin gue berubah paham. Gue tetep meyakini Islam sebagai agama terbaik.


The thing is, mungkin orang-orang yang tidak memilih beragama berpikir logis sama seperti apa yang gue pikirin sekarang. Kalau gue telen mentah-mentah informasi kaya gini, mungkin gue juga bisa jadi salah satu dari mereka. Tapi yang gue yakini, hal-hal yang bersifat spiritual seperti ini ga bisa dipikirin secara logis. Modal lu cuman satu, percaya. Dengan itu lu bisa yakin dan mengimani.

Begitu banyak tokoh-tokoh peradaban Mesir yang merupakan Budaya tertua di dunia menyerupai Tuhan-tuhan di berbagai agama di dunia. Cerita-cerita mereka, karakteristik mereka, mirip dengan Dewa Matahari zaman Mesir, Horus. Khrisna di India, Attis dan Dionysus di Yunani, Mithra di Persia. Mereka sama-sama dilahirkan dari seorang perawan tanggal 25 Desember, punya 12 pengikut atau murid, mati selama tiga hari dan kemudian bangkit lagi. Beberapa diantara mereka merayakan hari keagungan mereka di akhir minggu. Dan yang mengejutkan gue, Yesus tuhan umat kristiani pun demikian.

Gue bukan offence sama umat kristiani. This is based on video called Zetgeist. You’d better watch it and think. But please don’t believe it. Karena kitapun ga tau siapa yang membangun sejarah Mesir. Walaupun ada yang menyebutnya: “Setanlah yang membuat karakter Yesus sebelum kelahirannya.” Well, who knows.

Yang ada dipikiran gue dari dulu mengenai Kristen, adalah ajaran mereka ga beda jauh dengan kita, Islam, karena mereka berakar dari pendahulu-pendahulu kita yang sama, terutama Nabi Isa. Dan gue pikir pengikut Kristen stuck sampai disitu tanpa menghiraukan bahwa masih ada Nabi terakhir, Muhammad SAW, yang membawa wahyu yang disempurnakan dari kitab-kitab sebelumnya, Al-Quran. Gue ga pernah berpikir kalau Kristen adalah Copy-an budaya Mesir pemuja matahari. Tapi karena gue baca serie-nya Michael Scott, dan beberapa cerita Mesir yang gue tau, segala sesuatunya terasa make senses. Umat Kristen mungkin punya segudang teori buat ngebantah pemikiran gue ini. Tapi ya, seengganya itu yang ada di otak gue yang dangkal ini. Gue juga gam au terlalu tau teorinya. Takut-takut malah gue beralih paham.

Well, Itu yang gue pikirin ampe gue nonton video ke-4. Video ke 5-9 nyeritain tentang tragedy 9/11 yang merupakan konspirasi Amerika sendiri. Video ke 10, nyeritain perang, mata uang, Uni Amerika, Uni Eropa, Uni Asia, dan Uni Africa yang bakal bersatu dan melakukan one world government, dan nanemin microchip di badan kita. Di akhir video entah berapa kali videonya nayangin mata satu berkedip ampe gue pusing karena terlalu sering dan banyak. Pikiran gue balik lagi ke Konspirasi Freemason dan Illuminati and so on and so on tentang cerita One Seeing Eye-nya. Cerita-cerita microchip ini yang bikin gue inget buku yang gue baca mengenai konspirasi Yahudi, Freemason, dan illuminati, diceritain sama orang Indonesia, yang jalan ceritanya ga beda jauh sama video ini. Jadi plotnya seolah-olah ngasih tau kebusukan mereka, kebusukan Amerika dan semua dalang-dalangnya, kebusukan para konspirator-konspirator dunia yang bakal menguasai dunia, but finally in the end they just indoctrinate or force us into something, I don’t know. Something big. Alurnya sama banget dengan artikel-artikel yang gue baca mengenai konspirasi. Enek dah dengan ilusi-ilusi seperti ini,


And yes, thinking of these abstract stuff is a waste of time. Gue dulu Cuma suka aja cerita yang didasarkan pada fakta, ada buktinya, dan logis. Tapi dari mana kita tahu fakta itu benar adanya? Mungkin hanya di buat logis. Bahkan ketika fakta-fakta itu ada di media massa, media cetak, atau media apapun, gue ga bakal terlalu perrcaya. Trust me, media is a scary thing you have to live with.

Kamis, 20 Juni 2013

You are happy. Sometimes you just don’t realize it.


Dulu, gue bisa baca buku yang tebelnya 1200 halaman selama 3 hari kerja (baca: sekolah), which means, ampir tiap detik terlepas dari semua aktivitas regular gue, gue baca buku. Sekarang, as you expected, buat baca 1 buku gue butuh waktu 1 minggu ampe 1 bulan. Well, kerjaan lo yang ga seberapa tetep bikin lo pengennya tiduran, ngelamun, tarik nafas lama pas balik kerja. Untungnya, kebiasaan gue beli buku minimal 1 dalam sebulan ga ilang. Jadi, daripada gue ngerasain kemubaziran karena udah beli buku, ya gue baca. Seengganya gue ga terpenjara dengan rutinitas membosankan gue, dan sedikit melihat keluar sana.

I literary mean it! gue bener-bener ngeliat ke luar sana, ke Negara-negara yang ga pernah gue kunjungi dan ngeliat bagaimana mereka bisa bahagia dan murung. Gue menemukan banyak filosofi dan ajaran budha dan hindu yang bisa gue pake tanpa harus murtad jadi pengikut mereka karena itu hal kecil yang sangat universal yang sering kita lupakan dan tidak dipedulikan. Gue banyak belajar gimana gue menjalani hidup gue saat ini.
The Geography of Bliss. Ditulis Eric Weiner. Di buku inilah gue belajar tentang kebahagiaan. Hal klise, tapi merupakan cita-cita tertinggi dari umat manusia. Weiner mengelilingi banyak Negara buat nyari arti kebahagiaan, seperti apa kebahagiaan itu, mengapa mereka bahagia, apa yang membuat mereka bahagia, and so on and so on. Dan gue nemuin dua Negara yang menarik perhatian gue.

Pertama: Belanda. Negara prostitusi dan ganja ini adalah tempat dimana kebahagiaan dianalisis, diteliti, disimpulkan dan dijadikan teori dalam kode binari. “Kebahagiaan adalah angka,” begitu katanya. Di Belanda ada yang namanya World Database of Happiness (sebut saja WDH) dibuat oleh seorang ilmuwan kebahagiaan bernama Veenhoven, yang entah bahagia atau tidak. WDH ini berisi tentang riset-riset kebahagiaan di berbagai Negara, diurutin dari Negara yang paling bahagia sampai ke Negara yang tidak bahagia. Pertanyaan pertama gue muncul: gimana ngukur kebahagiaan? Kebahagiaan itu sangat subjektif, sulit untuk digeneralisasi. Tapi Weiner bilang, kita harus mengeneralisasi buat ngeliat perbedaannya. Makes sense. But still, kebahagiaan tiap orang beda. Kalau Veenhoven membuat Swiss menjadi urutan pertama Negara paling bahagia karena rakyatnya yang tidak memiliki rasa iri, serius, kaya, menaati peraturan, pemerintahannya yang baik yang mau membayar pasangan yang melahirkan anak dan sekolah, dan juga coklat, mungkin hal-hal seperti ini ga bakal begitu membahagiakannya buat orang-orang di sebagian Negara yang terbiasa menerima hidup apa adanya seperti Thailand.

Kedua: Bhutan, karena memiliki sistem ekonomi yang sangat unik dan sedang ramai diperbincangkan di dunia. Bhutan tidak menghitung Pendapatan National Bruto yang biasa digunakan di kebanyakan Negara-negara seperti Amerika untuk mengukur kesejahteraan rakyatnya. Bhutan menggunakan Kebahagiaan National Bruto, dimana kesejahteraan rakyat diukur dari sebahagia apa rakyatnya. Brilliant, I think. Cuma masalahnya balik lagi keawal, dan masih menjadi cibiran para pakar ekonomi barat, bagaimana kebahagiaan bisa di ukur? Menurut gue pribadi, selagi instrumentnya nya valid dan datanya bisa dipertanggungjawabkan, it could be a real measurement. Toh Weiner membuktikan, walaupun banyak rakyat Bhutan yang miskin, mereka terlihat bahagia. Apakah kebahagiaan berhubungan erat dengan kemiskinan? Apakah bahagia berarti tidak ada penderitaan? Apakah kebahagiaan adalah uang? Bagi seseorang ya, bagi seseorang tidak. Tapi rakyat Bhutan bahagia.

Satu lagi yang menarik dari Bhutan adalah ajaran Budha-nya mengenai kasih sayang. Semenjak baca itu gue ngebiarin semut-semut yang ada di karpet kamar gue kalau mereka ga sengaja menggerayami tubuh gue (okay, it sounds weird), atau ikut makan makanan gue. Biasanya langsung gue semprot pake air raksa biar mereka ga bisa beranak-pinak (yeah, I’m lying). The thing is, Budha mengajarkan kalau seluruh benda di dunia ini hidup dan bernyawa. And we have to respect it. Bukan berarti gue jadi penganut Budha, tapi hal kasih sayang seperti itu sangat universal dan sebenarnya penting. Di Bhutan, semua orang paham itu dan hidup berdampingan. Bahkan dengan pohon, dengan tanah. Mereka menghargai setiap hal yang ada disekitar mereka.

Dari Bhutan pula lah Karma Ura menyatakan “Tidak ada yang namanya kebahagiaan pribadi, kebahagiaan seratus persen bersifat relasional.” He’s totally right. Bukan karena banyaknya penelitian yang menunjukkan bahwa orang yang berinteraksi dengan orang lain lebih bahagia dibanding orang yang tidak berinteraksi sama sekali, tetapi Karena gue mengalamai apa yang namanya disebut kesepian dan itu terasa tidak membahagiakan. Dan betapa bahagianya gue ketika ketemu dengan sobat-sobat gue dan bisa tertawa lepas. Gue jadi bertanya-tanya seperti apa itu kebahagiaan pribadi. Kebahagiaan seorang hedonis? “Uang hanya bisa membatasi kita, membuat pagar tinggi di sekitar kita, literally and figurally.”

Weiner menceritakan beberapa Negara lainnya dalam hal kebahagiaan seperti Qatar, Negara yang bahagia dimana gedung-gedung tinggi dibangun, pelayanan supermewah dimana-mana, kaya, tetapi tidak mempunyai budaya bahkan sastra sekalipun. Mereka sedang membangun dan membeli budaya dengan uang. Kita doakan saja. Ada islandia dengan dunia es nya. Moldova, yang menjadi salah-satu Negara paling tidak bahagia berdampingan dengan Somalia. Semua orang berwajah muram di Moldova, seolah-olah mereka semua ingin pergi dari tempat itu. Tapi bahkan di Negara paling tidak bahagiapun ada hal yang bisa membuat orang-orangnya bahagia, Buah dan sayurannya yang segar, katanya. Ada Britania Raya yang bahagia dengan individualitas dan menyaci Amerika-nya, India dengan Kontradiksinya, dimana kita bisa merasakan kebahagiaan dan kebenciaan pada saat bersamaan, dimana agama dan hal-hal bersifat spiritual itu adalah bisnis, dan terlalu banyak orang-orang disana. Thailand bahagia karena mereka tipikal orang yang let it flow, dan tidak terlalu suka berpikir. Ketika ada masalah, ya sudah, mau bagaimana. But they are happy apparently

Satu lagi pertnyaan yang ngeganggu gue. How about our beloved country, Indonesia? Kebahagiaan seperti apa yang ada disini? Apakah mayoritas penduduk Indonesia bahagia? Kenapa? Because starbuck’s everywhere?
Weiner menjelaskan sedikit tentang Indonesia. Dia Pernah ke Bali, yang dia pikir keadaanya tidak terlalu jauh dengan negaranya, Amerika, hanya lebih banyak bebatuan dengan ukiran khas Hindu. Dia lebih mendapatkan perjalanannya di Lombok, yang ga dijelasin kenapa. Dari awal gue baca buku ini gue berharap banget ada Indonesia, dan ternyata ada. Di Epilog. Tidak sampai satu paragraph. Mungkin karena it’s not worth enough to write Indonesia in a thousand pages like the others. Kenapa? Apa rakyat Indonesia tidak bahagia? Gue sendiri sebagai rakyat Indonesia bertanya-tanya, what makes Indonesian happy most?
Kalau gue liat fenomena social sih, bagi sebagian besar rakyat, mungkin uang.

Kalau gue ditanya, mungkin gue bakal bilang cuaca, makanan, alamnya (walopun sebagian udah ga banget), and then… gue gak terlalu senang dengan tipikal atau karakter orang Indonesia yang udah mendarah daging di tubuh gue juga. Apa lagi ya?

Gue ga terlalu mikirin juga apa yang ngebuat gue bahagia tinggal di Indonesia, atau apakah gue bahagia? Atau kita orang Indonesia punya ikatan nenek moyang dengan tetangga kita Thailand yang ga mau mikir? Atau mungkin gue aja sik. But anyway, gue pernah merasa bahagia. Bukan karena tinggal di Indonesia dengan kekayaan alamnya, bukan karena letak geografisnya, tapi karena segala sesuatu yang ada di Indonesia memberi kontribusi terhadap apa yang membuat gue bahagia, baik buruknya. Dan Indonesia adalah tempat gue berbahagia. Bahkan terkadang, ketika banyaknya hal buruk yang terjadi, hal itu membuat kita dengan cepat dan sering berbahagia saat kita menemukan hal kecil yang membuat kita bahagia.

Ahh, terlalu banyak mengucapkan kata ‘bahagia’ bikin gue kaya pakar kebahagiaan. Gue masih bingung dengan semua abstract thingy ini. Yang jelas, “Memikirkan kebahagiaan membuatmu tidak bahagia.” Itu yang gue dapet di akhir gue baca buku The Geography of Bliss ini.


So, don’t be so hard on yourself when you think you’re not happy enough. You are happy. Sometimes you just don’t realize it.

Senin, 17 Juni 2013

So make us the asset, not the burden.


Setelah gue ngeluh karena ga punya kerjaan dan berpikir buat nipu orang tua buat S2 buat belajar padahal buat ngegantungin hidup gue lagi ke mereka, akhirnya hari ini gue ngeluh lagi karena dapet kerjaan. But that’s how human works.

Gue selalu ngerasa skripsi-lah yang mendewasakan gue. Setelah banyak-banyak sabar dan mengerahkan seluruh kemampuan demi lulus, sekarang gue ngerti itu ga ada apa-apanya dibanding dengan pertama kali lo masuk kerja. The responsibility is too big in my shoulder. But no matter what, you have to carry it and pay for it.

Dan gue selalu berpikir kesalahan ada pada diri gue. Entah karena mungkin gue murtad dari jalan gue sebagai guru, atau karena gue yang susah belajar hal-hal baru, atau daya adaptasi gue yang lambat, atau mungkin karena gue berada di tempat yang salah, yang juga salah gue. Awal kerja gue ngerasa 100x lebih berat dari pada ospek pramuka gue waktu smp, ketika gue disuruh makan telor kunyahan kakak Pembina gue (yiaks ..)  and as my friend said, dan yang ini yang paling gue rasa berat, “hal yang menyebalkan ketemu orang baru adalah, ketemu orang yang menyebalkan.” Well, true story.

Tapi, ketika lo ada di titik jenuh dan mikirin lagi hidup lo, lo ngerasa bisa ngeliat dengan jelas apa yang kurang dalam idup lo, dan apa yang sebenernya pengen lo lakuin. In my case, ketika gue ngerasa perusahaan yang gue tempati udah mulai ngeliatin ke unfair-an nya ke karyawan, dan atmosphere kerja yang jadi aneh karenanya, gue ngerasa kalau Allah ngasih jalan ke gue buat moving out  dan kembali ke jalan yang benar, which is, jadi guru, might be, might be or at least buat ga disitu lagi. Disisi lain, hikmah yang gue dapet di tempat kerja gue yang sekarang bikin gue pengen kelola perusahaan kecil sendiri. Yang ini impian gue sik. But the point is, gue udah kebayang gimana sebuah perusahaan bisa berjalan dengan baik dari berbagai aspek. And the most important part in company is the employee itself, like me, like us, dude.

Lo punya ide se-oke mukanya Emma Watson atau Emma Stone, atau se-maha dahsyat kharismatiknya eyang Subur ampe punya istri-istri girlbandnya, ide lo cuma ide tanpa employee. You need partner, and we are the partner. So make us the asset, not the burden. Ketika para pengusaha menggantungkan hidupnya pada perusahaan tapi perusahaanya kacrut karena employeenya ga semangat banget gawe dan alhasil ngaruh ke produk dan daya jual yang nurun, ya bye bye. I think they the bosses know this but why?

Gue selalu ngerasa buat ga meduliin sema intrik yang ada dalam perusahaan. Yang penting kerja aja. Ikhlas. Pake kemampuan terbaik lo. But there’s always a reason to stop. Bahkan ketika tempat kerja lo nyaman, bekerja dengan orang-orang yang (sebagian) menyenangkan, yang sebenernya semua hambatan kecil bisa lo taklukan kalau lo mau sabar dikit lagi, atau lo mau pait2an dulu gawe. Tapi ada yang ga salah. Nurani lo bilang bukan tempat lo disitu dan sekalipun dengan semua kenyamanannya elo bertahan, lo tetep ngerasa bersalah.


Dan disini gue mulai galau lagi kaya anak SMA.

Minggu, 19 Mei 2013

Maybe God doesn’t give me driving skill so I couldn’t be blamed for this matter




Well it’s been a long time since I wrote in this blog. Banyak banget hal yang terjadi kemaren sampe-sampe tiap mau nulis pikiran gue terlalu numpuk and I’m so speechless.

Tapi kejadian kemaren banget bikin gue ga bisa kalau ga nulis. That would be my unhappiest moment in my life. Dan semua itu kejadian karena kebodohan gue juga, tapi karna gue ga mau disalahin, gue jadi nyalahin entah pemerintah bagian mana yang ga bisa nyetop jumlah mobil dan motor di tempat gue.

Menurut gue, penggunaan atau kepemilikan mobil bukan harus dikurangi, tapi harus di stop, maybe for a while, di Indonesia. Gue ngomong ngaco sik, tanpa data. Tapi ini yang ada dipikiran gue. Because, seriously, I really saw so many cars and motorbikes everywhere. Kejadian kemarin bikin gue trauma buat naek angkot kemana-mana. Please imagine, gue naek angkot dari jam 5 sore dan baru nyampe jam 2 pagi, itupun setelah gue jalan jauh sekian kilometer dan di jemput pake motor di tempat yang masih padet. Gue bener-bener ga bisa abis pikir. Yang gue liat saat itu beneran lautan motor dan mobil ampe ke trotoar dang a ada jalan sedikitpun buat jalan kaki dan macet dan amarah dan kelaparan. Kenapa kelaparan? Karena lo ampir 9 jam dijalan tanpa makan dan minum apapun, guys?! Then people did have their anger. And for the records, this is the first time in my life seeing so many wheels. Kalau gue ga turun dan jalan kaki, gue ga tau nyampe jam berapa ke rumah. Dan gue ga bisa ngebayangin jam berapa orang-orang yang seangkot sama gue yang ga dijemput nyampe ke rumahnya.


Well, gue ga bakal cerita banyak penderitaan gue saat itu. The point is, terlalu banyak kendaraan di jalan kita ini di Indonesia. Ga sepadan dengan jalan yang kita punya, ga sepadan dengan mekanisme pengaturan jalan, or let’s say, polices capacity to manage traffic. And, ga sepadan juga dengan etika kita berkendaraan. Gue ngebayangin kalo kita ga emosian (this is I believe will never happen) dan saling sikut di jalan kita yang kecil dan padet ini, mungkin berkendaraan ga bakal begitu stress, jalanan ga bakal sebegitu hectic-nya. Kalau kita bisa saling excuse dan saling ngasih jalan mungkin perempatan jalan ga bakal sesemerawut saat itu. Gue ngeliatin orang pada teriak sikut sana sini, ditambah polisi marah-marah, anak-anak pada nangis, berisiknya terompet kemenangan persib, dan… what the hell was this? War? Dada Rosada ngapain aja sik kemarin?

This is not his fault, however. He confessed that transportation is one of problems that he can’t solve. Hal begini bukan buat ditimpahkan ke satu orang, walaupun sebenernya beliau bertanggung jawab, dan sebenernya bisa dikordinasikan. But I believe it’s our duty too as one society to “behave” and to take responsibility of this mess. Kalau laju kendaraan bisa dibatasi like, maybe one family one car, atau mungkin di stop in certain time pemasukan dan pembelian mobil, maybe we can breathe clean air for a while, smile for a while, and decrease our stress for a while. Sekarang satu keluarga berlima dan mereka punya dua mobil masing-masing di kali kan 20 persen kelas menengah keatas rakyat Indonesia, yang mungkin punya mobil,   udah berapa ribu mobil? Di tambah fenomena motor di Indonesia yang katanya efektif dan efisien for middle to low class society, but when it comes to a big number, it’s not effective and efficient at all. Dude, gimana lo bisa tepat waktu ke kantor naek motor kalo jalanan macet sama kalian-kalian juga yang saling serobot?

Mobil tambah banyak, motor segudang, jalanan tetep dan malah makin rusak. Gue ga terlalu ngerti apa yang bikin pemerintah, at least pemerintah setempat, lambat buat take action buat urusan transportasi ini, yang sebenernya udah dari dulu banget ada, disaat banyak solusi ditawarkan dan bisa diambil dari pengkritik-krtitik masalah social kita (kalau ga pengamat ya mahasiswa biasanya ini).

Gue ga bisa nyetir mobil atau pun motor sik (baca: penumpang sejati). Jadi apa yang gue tulis disini murni dari mata penumpang dengan pemikiran seadanya. Well, maybe God doesn’t give me a driving skill so I couldn’t be blame for this matter. 

No, I’m kidding. But seriously. :D



Rabu, 23 Januari 2013

Apa yang ada dalam pikiran mereka ketika orang bilang “kalian tidak bisa mendengar”?

 Belakangan, setelah lulus kuliah, gue banyak banget mikir. Mungkin karena kesibukan gue (yang dimana sebenernya ga ada) yang mengurang, gue jadi punya banyak waktu buat ngelakuin banyak hal, terutama mikir, which is the bad side of me. Masalahnya, kebanyakan mikir bikini idup lo lamban, plin-plan, curigaan,  dan mandeg. Karena kebanyakan mikir gue jadi banyak diem karena pikiran gue penuh dengan apa yang harus gue lakuin duluan, film mana yang harus gue tonton atau buku mana yang harus gue baca duluan, kenapa harus yang ini, kalau begini gimana, kalau begitu gimana, kok kamu kayak gitu?. Alhasil, nothing comes good.

Inilah rentang hidup yang tidak mengenakan. Lulus, belum punya kerjaan tetap, uang masih minta orang tua, temen-temen ngilang, dan sendirian. Gue bolak balik mikir apa gue harus minta kuliah lagi sama ortu biar gue lepas dari tanggung jawab diri gue sendri, biar gue bisa masih ditimang-timang nyokap, biar kerjaan dan tujuan gue jelas, belajar. “Lo gak mau nyenengin ortu dulu, ri?” “Iya gue juga pengen.Tapi gue stuck nih mau ngapain”. Ketika dimana lo ngalamin satu titik jengah dalam hidup lo, dan segala sesuatu yang datang jadi serasa menjengahkan, apapun itu. Bahkan ketika Tuhan sedang ngasih jalan buat lo, dengan seenak udel tutup tu jalan page pager. Life sucks, they said.

This is what I feel over this month. Dan sampai sepuluh detik yang lalu, gue masih ngerasa kalau gue lagi ada di jalan yang salah. “Galau” orang bilang. Tapi gue lebih seneng pake istilah pencarian jati diri. Walaupun istilah ini lebih tepat dipake buat anak SMA yang lagi ababil-ababil nya dan bingung milih antara jadi pelacur atau jadi istri ke-4-nya bapak menteri (this is happening, apparently) . But here I am with my stupidity.

But here’s my point. Kemarin gue dapet kerjaan transkrip video. Dan ternyata video anak tuna rungu kelas 8 yang lagi belajar bahasa inggris. Gue ga bisa berenti mikir. They are so young, beautiful and handsome, and smart. Tapi ketika mereka ngomong dengan terbata-bata, dan ketika mereka merasa bodoh dan tersiksa karna gak tau cara nulis “keranjang” dan dengan susah payah bilang “bear” dan “rabbit”, gue ga bisa lagi caci maki hidup gue.

Life is not perfect. That’s a cliché stuff, I know. But if there are people outside feel that their life is perfect, then they are blind. They don’t see around.

Ketika lo ngerasa hidup lo sempurna dengan semua apa yang lo punya, dengan semua yang lo raih, dan ketika lo nengok kanan atau kiri, there they are. Ketidaksmepurnaan yang membuat kesempurnaan kita tidak ada artinya. Then it’s not perfect at al.  There’s no such thing.

I wonder, Apa yang ada dalam pikiran mereka ketika orang bilang “kalian tidak bisa mendengar”? Hard to say. mikirinya aja bikin gue pengen nangis. gimana kalau gue diposisi mereka? see? the power of kebanyakan mikir. 

They can think and feel everything but they can’t even say it softly. Mereka harus hidup ditengah-tengah orang yang nganggap mereka idiot. Sedangkan gue, gak peduli. Ga ngeliat. Sibuk galau-ing diri sendiri dan caci maki Indonesia, ngebayangin di presidenin Rhoma Irama. Ditengah kerasnya usaha mereka to get a life, I try to throw my life to nothing? Thinking for nothing? Is that how this life works?