Kamis, 20 Juni 2013

You are happy. Sometimes you just don’t realize it.


Dulu, gue bisa baca buku yang tebelnya 1200 halaman selama 3 hari kerja (baca: sekolah), which means, ampir tiap detik terlepas dari semua aktivitas regular gue, gue baca buku. Sekarang, as you expected, buat baca 1 buku gue butuh waktu 1 minggu ampe 1 bulan. Well, kerjaan lo yang ga seberapa tetep bikin lo pengennya tiduran, ngelamun, tarik nafas lama pas balik kerja. Untungnya, kebiasaan gue beli buku minimal 1 dalam sebulan ga ilang. Jadi, daripada gue ngerasain kemubaziran karena udah beli buku, ya gue baca. Seengganya gue ga terpenjara dengan rutinitas membosankan gue, dan sedikit melihat keluar sana.

I literary mean it! gue bener-bener ngeliat ke luar sana, ke Negara-negara yang ga pernah gue kunjungi dan ngeliat bagaimana mereka bisa bahagia dan murung. Gue menemukan banyak filosofi dan ajaran budha dan hindu yang bisa gue pake tanpa harus murtad jadi pengikut mereka karena itu hal kecil yang sangat universal yang sering kita lupakan dan tidak dipedulikan. Gue banyak belajar gimana gue menjalani hidup gue saat ini.
The Geography of Bliss. Ditulis Eric Weiner. Di buku inilah gue belajar tentang kebahagiaan. Hal klise, tapi merupakan cita-cita tertinggi dari umat manusia. Weiner mengelilingi banyak Negara buat nyari arti kebahagiaan, seperti apa kebahagiaan itu, mengapa mereka bahagia, apa yang membuat mereka bahagia, and so on and so on. Dan gue nemuin dua Negara yang menarik perhatian gue.

Pertama: Belanda. Negara prostitusi dan ganja ini adalah tempat dimana kebahagiaan dianalisis, diteliti, disimpulkan dan dijadikan teori dalam kode binari. “Kebahagiaan adalah angka,” begitu katanya. Di Belanda ada yang namanya World Database of Happiness (sebut saja WDH) dibuat oleh seorang ilmuwan kebahagiaan bernama Veenhoven, yang entah bahagia atau tidak. WDH ini berisi tentang riset-riset kebahagiaan di berbagai Negara, diurutin dari Negara yang paling bahagia sampai ke Negara yang tidak bahagia. Pertanyaan pertama gue muncul: gimana ngukur kebahagiaan? Kebahagiaan itu sangat subjektif, sulit untuk digeneralisasi. Tapi Weiner bilang, kita harus mengeneralisasi buat ngeliat perbedaannya. Makes sense. But still, kebahagiaan tiap orang beda. Kalau Veenhoven membuat Swiss menjadi urutan pertama Negara paling bahagia karena rakyatnya yang tidak memiliki rasa iri, serius, kaya, menaati peraturan, pemerintahannya yang baik yang mau membayar pasangan yang melahirkan anak dan sekolah, dan juga coklat, mungkin hal-hal seperti ini ga bakal begitu membahagiakannya buat orang-orang di sebagian Negara yang terbiasa menerima hidup apa adanya seperti Thailand.

Kedua: Bhutan, karena memiliki sistem ekonomi yang sangat unik dan sedang ramai diperbincangkan di dunia. Bhutan tidak menghitung Pendapatan National Bruto yang biasa digunakan di kebanyakan Negara-negara seperti Amerika untuk mengukur kesejahteraan rakyatnya. Bhutan menggunakan Kebahagiaan National Bruto, dimana kesejahteraan rakyat diukur dari sebahagia apa rakyatnya. Brilliant, I think. Cuma masalahnya balik lagi keawal, dan masih menjadi cibiran para pakar ekonomi barat, bagaimana kebahagiaan bisa di ukur? Menurut gue pribadi, selagi instrumentnya nya valid dan datanya bisa dipertanggungjawabkan, it could be a real measurement. Toh Weiner membuktikan, walaupun banyak rakyat Bhutan yang miskin, mereka terlihat bahagia. Apakah kebahagiaan berhubungan erat dengan kemiskinan? Apakah bahagia berarti tidak ada penderitaan? Apakah kebahagiaan adalah uang? Bagi seseorang ya, bagi seseorang tidak. Tapi rakyat Bhutan bahagia.

Satu lagi yang menarik dari Bhutan adalah ajaran Budha-nya mengenai kasih sayang. Semenjak baca itu gue ngebiarin semut-semut yang ada di karpet kamar gue kalau mereka ga sengaja menggerayami tubuh gue (okay, it sounds weird), atau ikut makan makanan gue. Biasanya langsung gue semprot pake air raksa biar mereka ga bisa beranak-pinak (yeah, I’m lying). The thing is, Budha mengajarkan kalau seluruh benda di dunia ini hidup dan bernyawa. And we have to respect it. Bukan berarti gue jadi penganut Budha, tapi hal kasih sayang seperti itu sangat universal dan sebenarnya penting. Di Bhutan, semua orang paham itu dan hidup berdampingan. Bahkan dengan pohon, dengan tanah. Mereka menghargai setiap hal yang ada disekitar mereka.

Dari Bhutan pula lah Karma Ura menyatakan “Tidak ada yang namanya kebahagiaan pribadi, kebahagiaan seratus persen bersifat relasional.” He’s totally right. Bukan karena banyaknya penelitian yang menunjukkan bahwa orang yang berinteraksi dengan orang lain lebih bahagia dibanding orang yang tidak berinteraksi sama sekali, tetapi Karena gue mengalamai apa yang namanya disebut kesepian dan itu terasa tidak membahagiakan. Dan betapa bahagianya gue ketika ketemu dengan sobat-sobat gue dan bisa tertawa lepas. Gue jadi bertanya-tanya seperti apa itu kebahagiaan pribadi. Kebahagiaan seorang hedonis? “Uang hanya bisa membatasi kita, membuat pagar tinggi di sekitar kita, literally and figurally.”

Weiner menceritakan beberapa Negara lainnya dalam hal kebahagiaan seperti Qatar, Negara yang bahagia dimana gedung-gedung tinggi dibangun, pelayanan supermewah dimana-mana, kaya, tetapi tidak mempunyai budaya bahkan sastra sekalipun. Mereka sedang membangun dan membeli budaya dengan uang. Kita doakan saja. Ada islandia dengan dunia es nya. Moldova, yang menjadi salah-satu Negara paling tidak bahagia berdampingan dengan Somalia. Semua orang berwajah muram di Moldova, seolah-olah mereka semua ingin pergi dari tempat itu. Tapi bahkan di Negara paling tidak bahagiapun ada hal yang bisa membuat orang-orangnya bahagia, Buah dan sayurannya yang segar, katanya. Ada Britania Raya yang bahagia dengan individualitas dan menyaci Amerika-nya, India dengan Kontradiksinya, dimana kita bisa merasakan kebahagiaan dan kebenciaan pada saat bersamaan, dimana agama dan hal-hal bersifat spiritual itu adalah bisnis, dan terlalu banyak orang-orang disana. Thailand bahagia karena mereka tipikal orang yang let it flow, dan tidak terlalu suka berpikir. Ketika ada masalah, ya sudah, mau bagaimana. But they are happy apparently

Satu lagi pertnyaan yang ngeganggu gue. How about our beloved country, Indonesia? Kebahagiaan seperti apa yang ada disini? Apakah mayoritas penduduk Indonesia bahagia? Kenapa? Because starbuck’s everywhere?
Weiner menjelaskan sedikit tentang Indonesia. Dia Pernah ke Bali, yang dia pikir keadaanya tidak terlalu jauh dengan negaranya, Amerika, hanya lebih banyak bebatuan dengan ukiran khas Hindu. Dia lebih mendapatkan perjalanannya di Lombok, yang ga dijelasin kenapa. Dari awal gue baca buku ini gue berharap banget ada Indonesia, dan ternyata ada. Di Epilog. Tidak sampai satu paragraph. Mungkin karena it’s not worth enough to write Indonesia in a thousand pages like the others. Kenapa? Apa rakyat Indonesia tidak bahagia? Gue sendiri sebagai rakyat Indonesia bertanya-tanya, what makes Indonesian happy most?
Kalau gue liat fenomena social sih, bagi sebagian besar rakyat, mungkin uang.

Kalau gue ditanya, mungkin gue bakal bilang cuaca, makanan, alamnya (walopun sebagian udah ga banget), and then… gue gak terlalu senang dengan tipikal atau karakter orang Indonesia yang udah mendarah daging di tubuh gue juga. Apa lagi ya?

Gue ga terlalu mikirin juga apa yang ngebuat gue bahagia tinggal di Indonesia, atau apakah gue bahagia? Atau kita orang Indonesia punya ikatan nenek moyang dengan tetangga kita Thailand yang ga mau mikir? Atau mungkin gue aja sik. But anyway, gue pernah merasa bahagia. Bukan karena tinggal di Indonesia dengan kekayaan alamnya, bukan karena letak geografisnya, tapi karena segala sesuatu yang ada di Indonesia memberi kontribusi terhadap apa yang membuat gue bahagia, baik buruknya. Dan Indonesia adalah tempat gue berbahagia. Bahkan terkadang, ketika banyaknya hal buruk yang terjadi, hal itu membuat kita dengan cepat dan sering berbahagia saat kita menemukan hal kecil yang membuat kita bahagia.

Ahh, terlalu banyak mengucapkan kata ‘bahagia’ bikin gue kaya pakar kebahagiaan. Gue masih bingung dengan semua abstract thingy ini. Yang jelas, “Memikirkan kebahagiaan membuatmu tidak bahagia.” Itu yang gue dapet di akhir gue baca buku The Geography of Bliss ini.


So, don’t be so hard on yourself when you think you’re not happy enough. You are happy. Sometimes you just don’t realize it.

Senin, 17 Juni 2013

So make us the asset, not the burden.


Setelah gue ngeluh karena ga punya kerjaan dan berpikir buat nipu orang tua buat S2 buat belajar padahal buat ngegantungin hidup gue lagi ke mereka, akhirnya hari ini gue ngeluh lagi karena dapet kerjaan. But that’s how human works.

Gue selalu ngerasa skripsi-lah yang mendewasakan gue. Setelah banyak-banyak sabar dan mengerahkan seluruh kemampuan demi lulus, sekarang gue ngerti itu ga ada apa-apanya dibanding dengan pertama kali lo masuk kerja. The responsibility is too big in my shoulder. But no matter what, you have to carry it and pay for it.

Dan gue selalu berpikir kesalahan ada pada diri gue. Entah karena mungkin gue murtad dari jalan gue sebagai guru, atau karena gue yang susah belajar hal-hal baru, atau daya adaptasi gue yang lambat, atau mungkin karena gue berada di tempat yang salah, yang juga salah gue. Awal kerja gue ngerasa 100x lebih berat dari pada ospek pramuka gue waktu smp, ketika gue disuruh makan telor kunyahan kakak Pembina gue (yiaks ..)  and as my friend said, dan yang ini yang paling gue rasa berat, “hal yang menyebalkan ketemu orang baru adalah, ketemu orang yang menyebalkan.” Well, true story.

Tapi, ketika lo ada di titik jenuh dan mikirin lagi hidup lo, lo ngerasa bisa ngeliat dengan jelas apa yang kurang dalam idup lo, dan apa yang sebenernya pengen lo lakuin. In my case, ketika gue ngerasa perusahaan yang gue tempati udah mulai ngeliatin ke unfair-an nya ke karyawan, dan atmosphere kerja yang jadi aneh karenanya, gue ngerasa kalau Allah ngasih jalan ke gue buat moving out  dan kembali ke jalan yang benar, which is, jadi guru, might be, might be or at least buat ga disitu lagi. Disisi lain, hikmah yang gue dapet di tempat kerja gue yang sekarang bikin gue pengen kelola perusahaan kecil sendiri. Yang ini impian gue sik. But the point is, gue udah kebayang gimana sebuah perusahaan bisa berjalan dengan baik dari berbagai aspek. And the most important part in company is the employee itself, like me, like us, dude.

Lo punya ide se-oke mukanya Emma Watson atau Emma Stone, atau se-maha dahsyat kharismatiknya eyang Subur ampe punya istri-istri girlbandnya, ide lo cuma ide tanpa employee. You need partner, and we are the partner. So make us the asset, not the burden. Ketika para pengusaha menggantungkan hidupnya pada perusahaan tapi perusahaanya kacrut karena employeenya ga semangat banget gawe dan alhasil ngaruh ke produk dan daya jual yang nurun, ya bye bye. I think they the bosses know this but why?

Gue selalu ngerasa buat ga meduliin sema intrik yang ada dalam perusahaan. Yang penting kerja aja. Ikhlas. Pake kemampuan terbaik lo. But there’s always a reason to stop. Bahkan ketika tempat kerja lo nyaman, bekerja dengan orang-orang yang (sebagian) menyenangkan, yang sebenernya semua hambatan kecil bisa lo taklukan kalau lo mau sabar dikit lagi, atau lo mau pait2an dulu gawe. Tapi ada yang ga salah. Nurani lo bilang bukan tempat lo disitu dan sekalipun dengan semua kenyamanannya elo bertahan, lo tetep ngerasa bersalah.


Dan disini gue mulai galau lagi kaya anak SMA.