Dulu, gue bisa baca buku yang tebelnya 1200 halaman selama 3
hari kerja (baca: sekolah), which means,
ampir tiap detik terlepas dari semua aktivitas regular gue, gue baca buku.
Sekarang, as you expected, buat baca
1 buku gue butuh waktu 1 minggu ampe 1 bulan. Well, kerjaan lo yang ga seberapa tetep bikin lo pengennya tiduran,
ngelamun, tarik nafas lama pas balik kerja. Untungnya, kebiasaan gue beli buku
minimal 1 dalam sebulan ga ilang. Jadi, daripada gue ngerasain kemubaziran
karena udah beli buku, ya gue baca. Seengganya gue ga terpenjara dengan
rutinitas membosankan gue, dan sedikit melihat keluar sana.
I literary mean it!
gue bener-bener ngeliat ke luar sana, ke Negara-negara yang ga pernah gue
kunjungi dan ngeliat bagaimana mereka bisa bahagia dan murung. Gue menemukan
banyak filosofi dan ajaran budha dan hindu yang bisa gue pake tanpa harus
murtad jadi pengikut mereka karena itu hal kecil yang sangat universal yang
sering kita lupakan dan tidak dipedulikan. Gue banyak belajar gimana gue
menjalani hidup gue saat ini.
The Geography of Bliss.
Ditulis Eric Weiner. Di buku inilah gue belajar tentang kebahagiaan. Hal klise,
tapi merupakan cita-cita tertinggi dari umat manusia. Weiner mengelilingi
banyak Negara buat nyari arti kebahagiaan, seperti apa kebahagiaan itu, mengapa
mereka bahagia, apa yang membuat mereka bahagia, and so on and so on. Dan gue nemuin dua Negara yang menarik
perhatian gue.
Pertama: Belanda. Negara prostitusi dan ganja ini adalah
tempat dimana kebahagiaan dianalisis, diteliti, disimpulkan dan dijadikan teori
dalam kode binari. “Kebahagiaan adalah angka,” begitu katanya. Di Belanda ada
yang namanya World Database of Happiness
(sebut saja WDH) dibuat oleh seorang ilmuwan kebahagiaan bernama Veenhoven,
yang entah bahagia atau tidak. WDH ini berisi tentang riset-riset kebahagiaan
di berbagai Negara, diurutin dari Negara yang paling bahagia sampai ke Negara
yang tidak bahagia. Pertanyaan pertama gue muncul: gimana ngukur kebahagiaan?
Kebahagiaan itu sangat subjektif, sulit untuk digeneralisasi. Tapi Weiner
bilang, kita harus mengeneralisasi buat ngeliat perbedaannya. Makes sense. But still, kebahagiaan tiap
orang beda. Kalau Veenhoven membuat Swiss menjadi urutan pertama Negara paling
bahagia karena rakyatnya yang tidak memiliki rasa iri, serius, kaya, menaati
peraturan, pemerintahannya yang baik yang mau membayar pasangan yang melahirkan
anak dan sekolah, dan juga coklat, mungkin hal-hal seperti ini ga bakal begitu membahagiakannya
buat orang-orang di sebagian Negara yang terbiasa menerima hidup apa adanya
seperti Thailand.
Kedua: Bhutan, karena memiliki sistem ekonomi yang sangat
unik dan sedang ramai diperbincangkan di dunia. Bhutan tidak menghitung
Pendapatan National Bruto yang biasa digunakan di kebanyakan Negara-negara
seperti Amerika untuk mengukur kesejahteraan rakyatnya. Bhutan menggunakan
Kebahagiaan National Bruto, dimana kesejahteraan rakyat diukur dari sebahagia
apa rakyatnya. Brilliant, I think.
Cuma masalahnya balik lagi keawal, dan masih menjadi cibiran para pakar ekonomi
barat, bagaimana kebahagiaan bisa di ukur? Menurut gue pribadi, selagi
instrumentnya nya valid dan datanya bisa dipertanggungjawabkan, it could be a real measurement. Toh
Weiner membuktikan, walaupun banyak rakyat Bhutan yang miskin, mereka terlihat
bahagia. Apakah kebahagiaan berhubungan erat dengan kemiskinan? Apakah bahagia
berarti tidak ada penderitaan? Apakah kebahagiaan adalah uang? Bagi seseorang
ya, bagi seseorang tidak. Tapi rakyat Bhutan bahagia.
Satu lagi yang menarik dari Bhutan adalah ajaran Budha-nya
mengenai kasih sayang. Semenjak baca itu gue ngebiarin semut-semut yang ada di
karpet kamar gue kalau mereka ga sengaja menggerayami tubuh gue (okay, it sounds weird), atau ikut makan makanan
gue. Biasanya langsung gue semprot pake air raksa biar mereka ga bisa
beranak-pinak (yeah, I’m lying). The thing is, Budha mengajarkan kalau
seluruh benda di dunia ini hidup dan bernyawa. And we have to respect it. Bukan berarti gue jadi penganut Budha,
tapi hal kasih sayang seperti itu sangat universal dan sebenarnya penting. Di
Bhutan, semua orang paham itu dan hidup berdampingan. Bahkan dengan pohon,
dengan tanah. Mereka menghargai setiap hal yang ada disekitar mereka.
Dari Bhutan pula lah Karma Ura menyatakan “Tidak ada yang
namanya kebahagiaan pribadi, kebahagiaan seratus persen bersifat relasional.” He’s totally right. Bukan karena
banyaknya penelitian yang menunjukkan bahwa orang yang berinteraksi dengan
orang lain lebih bahagia dibanding orang yang tidak berinteraksi sama sekali,
tetapi Karena gue mengalamai apa yang namanya disebut kesepian dan itu terasa
tidak membahagiakan. Dan betapa bahagianya gue ketika ketemu dengan sobat-sobat
gue dan bisa tertawa lepas. Gue jadi bertanya-tanya seperti apa itu kebahagiaan
pribadi. Kebahagiaan seorang hedonis? “Uang hanya bisa membatasi kita, membuat
pagar tinggi di sekitar kita, literally
and figurally.”
Weiner menceritakan beberapa Negara lainnya dalam hal
kebahagiaan seperti Qatar, Negara yang bahagia dimana gedung-gedung tinggi
dibangun, pelayanan supermewah dimana-mana, kaya, tetapi tidak mempunyai budaya
bahkan sastra sekalipun. Mereka sedang membangun dan membeli budaya dengan
uang. Kita doakan saja. Ada islandia dengan dunia es nya. Moldova, yang menjadi
salah-satu Negara paling tidak bahagia berdampingan dengan Somalia. Semua orang
berwajah muram di Moldova, seolah-olah mereka semua ingin pergi dari tempat
itu. Tapi bahkan di Negara paling tidak bahagiapun ada hal yang bisa membuat
orang-orangnya bahagia, Buah dan sayurannya yang segar, katanya. Ada Britania
Raya yang bahagia dengan individualitas dan menyaci Amerika-nya, India dengan
Kontradiksinya, dimana kita bisa merasakan kebahagiaan dan kebenciaan pada saat
bersamaan, dimana agama dan hal-hal bersifat spiritual itu adalah bisnis, dan terlalu
banyak orang-orang disana. Thailand bahagia karena mereka tipikal orang yang let it flow, dan tidak terlalu suka
berpikir. Ketika ada masalah, ya sudah, mau bagaimana. But they are happy apparently.
Satu lagi pertnyaan yang ngeganggu gue. How about our beloved country, Indonesia? Kebahagiaan seperti apa
yang ada disini? Apakah mayoritas penduduk Indonesia bahagia? Kenapa? Because starbuck’s everywhere?
Weiner menjelaskan sedikit
tentang Indonesia. Dia Pernah ke Bali, yang dia pikir keadaanya tidak terlalu
jauh dengan negaranya, Amerika, hanya lebih banyak bebatuan dengan ukiran khas
Hindu. Dia lebih mendapatkan perjalanannya di Lombok, yang ga dijelasin kenapa.
Dari awal gue baca buku ini gue berharap banget ada Indonesia, dan ternyata
ada. Di Epilog. Tidak sampai satu paragraph. Mungkin karena it’s not worth enough to write Indonesia in
a thousand pages like the others. Kenapa? Apa rakyat Indonesia tidak
bahagia? Gue sendiri sebagai rakyat Indonesia bertanya-tanya, what makes Indonesian happy most?
Kalau gue liat fenomena social
sih, bagi sebagian besar rakyat, mungkin uang.
Kalau gue ditanya, mungkin gue
bakal bilang cuaca, makanan, alamnya (walopun sebagian udah ga banget), and then… gue gak terlalu senang dengan
tipikal atau karakter orang Indonesia yang udah mendarah daging di tubuh gue
juga. Apa lagi ya?
Gue ga terlalu mikirin juga apa
yang ngebuat gue bahagia tinggal di Indonesia, atau apakah gue bahagia? Atau
kita orang Indonesia punya ikatan nenek moyang dengan tetangga kita Thailand
yang ga mau mikir? Atau mungkin gue aja sik. But anyway, gue pernah merasa bahagia. Bukan karena tinggal di
Indonesia dengan kekayaan alamnya, bukan karena letak geografisnya, tapi karena
segala sesuatu yang ada di Indonesia memberi kontribusi terhadap apa yang
membuat gue bahagia, baik buruknya. Dan Indonesia adalah tempat gue berbahagia.
Bahkan terkadang, ketika banyaknya hal buruk yang terjadi, hal itu membuat kita
dengan cepat dan sering berbahagia saat kita menemukan hal kecil yang membuat
kita bahagia.
Ahh, terlalu banyak mengucapkan
kata ‘bahagia’ bikin gue kaya pakar kebahagiaan. Gue masih bingung dengan semua
abstract thingy ini. Yang jelas, “Memikirkan kebahagiaan membuatmu tidak
bahagia.” Itu yang gue dapet di akhir gue baca buku The Geography of Bliss ini.
So, don’t be so hard on yourself when you think you’re not happy enough.
You are happy. Sometimes you just don’t realize it.