Belakangan ini banyak banget yang ngomongin soal pernikahan. Baik itu temen gw sendiri, guru-guru di tempat gw praktek ngajar, atopun ibu-ibu yang baru aja gw temuin di suatu tempat. Bahasannya ga jauh tentang masa depan seorang wanita, yang kelak menikah dan berkeluarga, membina suatu komitmen yang penuh dengan kejujuran. Well, itu bukan topik utamanya. Kebanyakan, mereka membahas seperti apa kelak laki-laki yang bakal menghidupi. Tepatnya, materi yang mereka punya.
Orang-orang sibuk mencari. Orang-orang sibuk membicarakan tentang bagaimana kita harus mendapatkan orang yang ‘mapan’ buat ngedampingi kita. Tak usahlah cinta. Hidup tak begitu memerlukan cinta. Cinta bisa apa? Well, orang ini harus masuk mata kuliah Discourse Analysis dan dapet pencerahan dari Mr. Didi soal cinta. But no offense. orang-orang yang mengejar materi di jaman sekrang sangatlah masuk akal. Melihat banyak orang tak begitu memikirkan kebahagiaan hakiki dalam hidupnya.
Orang tua mana yang ingin menikahkan anaknya dengan laki-laki yang pengangguran, tak punya banyak materi yang bisa diandalkan untuk melangsungkan kehidupan ga hanya buat istrinya, tapi anak sekeluarga, yang segala sesuatunya hanya di dasari dengan cinta, atau mungkin saja kebohongan.
Banyak orang berpikir sama. Ga sedikit temen gw yang ‘mencari’ laki-laki berseragam ‘hijau’, ‘coklat’, ‘putih’, dan berbagai warna lainnya, hanya untuk mendapatkan penghidupan yang layak, buat dirinya sendiri dan anak cucunya. Tak salah. Dan sangat logis.
Yang gw ga habis pikir, issue ini berputar di sekeliling gw belakangan ini. Entah karena mungkin udah masanya gw memikirkan ini, atau karena memang lingkungan gw yang menuntut, atau mungkin karena gw lebih merasa ‘sendiri’ saat ini. Dan gw selalu merespon dengan sok bijak, so ‘cool’. Sebenernya, apa yang gw pikirkan berbeda.
Ga dipungkiri gw juga pengen dapetin lelaki ‘idaman’. Spesifikasinya tentu ga bakal cukup satu halaman kertas A4 yang biasa lu pake ngeprint. Terlalu banyak rentetan tuntutan yang harus dipenuhi sebagai seorang lelaki ‘idaman’. In fact, nobody’s perpfect. Masalahnya, gw masih hidup di dalam dunia gw yang kecil ini. Gw masih mikirin hal-hal kecil yang real yang gw hadepin sekarang. Gw masih mau bergandengan tangan sama temen2 gw. Gw masih suka nongkrongin tempat-tempat rame. Gw masih suka bermain-main dengan hubungan. Sulit rasanya memikirkan ‘serious relationship stuffs’ , terutama buat masa depan gw , yang bikin temen-temen gw ngawang-ngawang, yang justru jadi impian semua orang tua terhadap anak ceweknya. Honestly, gw masih menganggap hal-hal seperti itu itu klise. Tetapi sangat logis.
Gw juga punya mimpi. Gw pengen punya kehidupan gw yang layak di masa depan gw nanti. Gw pengen apa yang gw mau, apa yang gw suka, apa yang jadi kewajiban dan hak gw, gw bisa jabanin apa adanya. Tapi, alih-alih berharap dari calon suami kaya yang bisa ngasih kita segalanya, gw berpikir buat ngeraih segalanya sendirian dulu. Oke. Ga gampang. Butuh kerja keras. Tapi gw ga mau bergantung. Rasanya melihat orang-orang membicarakan materi bikin gw mual mau muntah. kenapa gw rasanya itu menjadi suatu tuntutan, standar yang harus di raih setiap orang dalam hidupnya.
Ga salah. Sama sekali ga salah. Tapi Tuhan tidak suka hal-hal yang berlebih-lebihan. berharap terlalu banyak. Tuhan punya rencana, Tuhan sudah menakdirkan kita dengan seseorang, miskin atau kaya, apa dia rajin gosok gigi atau engga, apa bibirnya berwarna hitam karena rokok dan badannya kerempeng, apa dia pernah having seks, apa dia sudah beristri sebelumnya dan punya anak, who knows? Memulai hidup dari nol memiliki arti kebahagiaan tersendiri nantinya. Apa yang lu raih, apa yang lu dapetin, akan sangat berarti tiap jengkalnya, tiap satu butir beras yang lu makan, tiap tegukan air yang lu minum, tiap sepersekian kecil ukuran apapun di dunia ini. Dan lu bakal bisa ngehargain sekecil apapun yang lu dapetin. Yang harus dipegang benner-bener, diluar semua masalah kepercayaannya terhadap Tuhan, adalah apa dia mau berkerja keras, dan jujur. Kadang apa yang kita ga suka sebelumnya, mau ga mau, suatu hari nanti harus kita terima.
Yang gw takutin Cuma satu. Gw takut pemikiran gw ini, berujung kaya ibu-ibu yang tadi gw ajak ngobrol di museum. Umurnya 50 taun sekian. Belum menikah., setelah gw pikir dia punya anak karena ngomongin betapa kita sebagai wanita harus milih cowo yang bener (baca: kaya). Gw pikir itu nurani seorang ibu buat anak cewenya, tapi sepertinya, ditujukkan buat dirinya sendiri. Beliau sedang menjalin kasih dengan seorang lelaki, yang sudah menikah dan punya anak, dan sudah 8 tahun lamanya. Katanya, cowo itu suka ngehina apaun yang dikerjakan beliau. Tapi beliau bertahan karena, sulit untuk mendapatkan lelaki di usianya sekarang. Yang biking gw heran lagi, beliau dengan santainya ngomongin hal itu sama orang yang baru dikenalnya. Gw ga tau harus bersimpati atau merasa kesal.
See? Gw takut idealisme yang terlalu gw pegang erat itu berujung di suatu titik dimana gw ga bisa milih lagi. Walaupun gw ga terlalu peduli sekarang, gw mulai berpikir gimana caranya buat nerima orang apa adanya. Karena seperti apa yang gw bilang, lelaki ‘idaman’ gw, ga bakal bisa gw tulisin. Apa yang gw omongin ini bukan masalah materi. Asal mau berusaha gw bilang, pasti ada jalan. Tapi masalahnya adalah jalan pikir laki-laki. Hanya satu dari sejuta laki-laki, yang bisa dan mau berpikir tentang apa itu artinya komitmen, atau pernikahan. Kalau seperti ini, gw ngerasa gw ga muda lagi ternyata…
Gw merasa tergelitik dengan apa yang gw omongin ini. This is not really my stuff. However, I know God has plan for me.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar